Friday, May 20, 2011

KAKAP ATAU TERI : Sebuah Renungan Ibu Rumah Tangga tentang Kebutuhan Gizi Keluarga

Oleh Abdul Wadud Nashruddin

Mungkin di kalangan kaum suami atau anak kurang memperhatikan betul bagaimana seorang ibu musti mengambil banyak pertimbangan tentang apa yang akan disantap keluarga hari ini. Trend yang berkembang di kalangan ibu-ibu, obrolan tetangga sampai setumpuk tips-tips kuliner tabloid atau majalah bisa jadi bagian dari perimbangan tersebut.

Di kalangan tradisional, mungkin masalah ini bukan menjadi hal asyik buat dibahas. Rutinitas dan pola konsumsi masyarakat tradisional tentu memiliki trend dan pola yang lebih simple. Ketika kita melihat masyarakat pinggiran kota (sub urban) atau masyarakat perkotaan, tentu akan kita dapati kesan yang jauh berbeda. Muncul gengsi dengan apa yang mereka beli, kadang juga prestise keluarga seolah dipertaruhan ketika tetangga bertanya pada anda “Masak apa hari ini bu ?”. Tentu saja kelas ekonomi anda tiba-tiba jadi diukur dari apa isi meja makan anda. Tapi bagaimanapun kita harus memperhatikan betul hal ini. Siapa tahu, pemenuhan gizi keluarga adalah item yang berporsi terbesar di neraca keuangan keluarga anda.

Tulisan iseng ini muncul dari sebuah puisi singkat yang dikirimkan oleh kawan saya yang berjudul “Kakap atau Teri”. Cyandri Eka Martha, lewat pengalaman belanjanya di pasar tiba-tiba berkeinginan untuk menulis sesuatu tentang apa yang ada di benaknya. Dia menulis sebuah puisi berikut ini :

Pagi ini, seperti biasa ramailah pasar ditepi rel kereta..
Banyak sayur, macam buah dan beraneka lauk tuk siap santap di meja..
Bingung aku kali ini, di depan penjajah ikan sedikit mengajukan tanya,
Rupanya laris dagangan sejak pagi,
Ikan sudah ludes diburu pembeli
Tinggal kakap putih kegemaran suami
Dan segenggam teri .
Lalu apa yang kubawa untuk lauk siang nanti?
kalau aku dahulu, aku sudah memilih kakap putih.
Enak, bergizi tinggi dan juga gengsi,
Rupanya kakap tidak meninggalkan kelasnya,
Makanan elit untuk rakyat yang tidak elit.
Dari lauk saja bisa bangga sewaktu ditanya tetangga
Setelah sekian lama, bosan aku rupanya…
Hidup hanya bukan tentang bagaimana dilihat tetangga..
Hidup bukan dirasa dari gengsi semata..
Tak lama kuputuskan membeli teri..
Ikan tidak popular, yang biasa dinikmati orang bawahan..
Mungkin tetangga akan tertawa kalau tahu hanya ikan teri yang kubawa..
Biarlah, mereka tidak tahu apa arti teri ini,
Walau kecil lebih banyak mengandung nutrisi..
Lebih gurih dari sekedar ikan bergengsi..
Makanan kelas bawah yang bisa diolah menjadi sekian rupa.
Namun banyak cara menjadikan istimewa..
Bukan hanya dari sebuah nama, kakap atau teri.
Kelas rendah apa tinggi..
Orang sering lupa akan esensi,,
Ikan yang mahal sering dilirik,
Ikan murahan jarang dikutik..
Biarlah kami merasakan sendiri,,
Nikmatnya teri hasil keringat sendiri..

NB : specially for my husband.. whom inspired me bout this poem..

Dari puisi di atas banyak ide yang akhirnya muncul di benak saya. Salah satunya untuk memulai perencanaan keuangan keluarga yang lebih baik tentang kebutuhan asupan gizi. Mungkin jajan dan makan kita adalah hal yang belum terbiasa kita kontrol dengan baik, beda dengan kebutuhan reguler seperti tagihan listrik, telepon atau kebutuhan sekolah anak. Jika yang enak dan bergizi tinggi tidak harus menguras kocek kenapa kita tidak mulai membuat sebuah perencanaan matang tentang itu. Selamat mencoba.

No comments:

Post a Comment