Tuesday, May 3, 2011

Manajemen Konflik

Oleh. Abdul Wadud
PENDAHULUAN

Terjadinya konflik dalam setiap organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua fihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi.

PENGERTIAN KONFLIK

Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan.

Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan Konflik sebagai : "sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya". Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya.

Dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: "sebuah proses mengekspresikan ketidapuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi". Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka.

Lebih jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik harus dianggap sebagai "ada" oleh fihak-fihak yang terlibat dalam konflik. Dengan demikian apakah konflik itu ada atau tidak ada, adalah masalah "persepsi" dan bila tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa ada konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut memang tidak ada.

Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai "bernuansa konflik" ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan antara lain, "oposisi" (lawan), "kelangkaan", dan "blokade".

Diasumsikan pula bahwa ada dua fihak atau lebih yang tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula bahwa sumberdaya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam kehidupan dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang, setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi akan berusaha memperoleh semberdaya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan mendorong perilaku yang bersifat menghalangi oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang sama. Fihak-fihak tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi "konflik".

MANIFESTASI KONFLIK

Konflik yang terjadi dalam masyarakat atau dalam sebuah organisasi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk atau cara. Dalam manifestasinya, secara langsung maupun tidak langsung dipat dijadikan sebagai alat ukur ada tidaknya konflik di suatu organisasi, tentu saja akan memungkinkan dapat dilakukanya langkah prefentif sebelumnya. Manifestasi konflik ini dapat berupa  :

1.      Perselisihan (Dispute)
Bagi kebanyakan orang awam, kata konflik biasanya diasosiasikan dengan "dispute" yaitu "perselisihan" tetapi, dalam konteks ilmu perilaku organisasi, "perselisihan" sebenarnya sudah merupakan salah satu dari banyak bentuk produk dari konflik. Dispute atau perselisihan adalah salah satu produk konflik yang paling mudah terlihat dan dapat berbentuk protes (grievances), tindakan indispliner, keluhan (complaints), unjuk rasa ramai-ramai, tindakan pemaksaan (pemblokiran, penyanderaan, dsb.), tuntutan ataupun masih bersifat ancaman atau pemogokan baik antara fihak internal organisasi ataupun dengan fihak luar adalah tanda-tanda konflik yang tidak terselesaikan.
2.      Kompetisi (persaingan) yang tidak sehat
Persaingan sebenarnya tidak sama dengan konflik. Persaingan seperti misalnya dalam pertandingan atletik mengikuti aturan main yang jelas dan ketat. Semua pihak yang bersaing berusaha memperoleh apa yang diinginkan tanpa di jegal oleh pihak lain. Adanya persaingan yang sangat keras dengan wasit yang tegas dan adil, yang dapat menjurus kepada perilaku dan tindakan yang bersifat menjegal yang lain.
3.      Sabotase
Sabotase adalah salah satu bentuk produk konflik yang tidak dapat diduga sebelumnya. Sabotase seringkali digunakan dalam permainan politik dalam internal organisasi atau dengan pihak eksternal yang dapat menjebak pihak lain. Misalnya saja satu pihak mengatakan tidak apa-apa, tidak mengeluh, tetapi tiba-tiba mengajukan tuntutan ganti rugi miliaran rupiah melalui pengadilan.
4.      Insfisiensi atau produktivitas yang rendah.
Apa yang terjadi adalah salah satu fihak (biasanya fihak pekerja) dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang berakibat menurunkan produktivitas dengan cara memperlambat kerja (slowdown), mengurangi output, melambatkan pengiriman, dll. Ini adalah salah satu dari bentuk konflik yang tersembunyi (hidden conflic) dimana salah satu fihak menunjukan sikapnya secara tidak terbuka.
5.      Penurunan moril (low morale).
Penurunan moril dicerminkan dalam menurunnya gairah kerja, meningkatnya tingkat kemangkiran, sakit, penurunan moril adalah juga merupakan salah satu dari produk konflik tersembunyi dalam situasi ini salah satu fihak, biasanya pekerja, merasa takut untuk secara terang-terangan memprotes fihak lain sehingga elakukan tindakan-tindakan tersembunyi pula.
6.      Menahan atau menyembunyikan informasi.
Dalam banyak organisasi informasi adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dan identik dengan kekuasaan (power). Dengan demikian maka penahanan atau penyembunyian informasi adalah identik dengan kemampuan mengendalikan kekuasaan tersebut. Tindakan-tindakan seperti ini menunjukkan adanya konflik tersembunyi dan ketidak percayaan (distrust).

MACAM-MACAM KONFLIK

1.      Dari segi fihak yang terlibat dalam konflik
a.      Konflik individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu karyawan lainnya, atau bahkan antara satu pimpinan dengan yang lain.
b.      Konflik individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kempok pimpinan.
c.       Konflik kelompok dengan kelompok
Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.

2.      Dari segi dampak yang timbul
Dari segi dampak yang timbul, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut disfungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan dengan baik.

Contoh konflik yang fungsional dengan kasus seorang manajer perusahaan yang menghadapi masalah tentang bagaimana mengalokasikan dana untuk meningkatkan penjualan masing-masing jenis produk. Pada saat itu setiap produk line berada pada suatu devisi. Salah satu cara pengalokasian mungkin dengan memberikan dana tersebut kepada devisi yang bisa mengelola dana dengan efektif dan efisien. Jadi devisi yang kurang produktif tidak akan memperoleh dana tersebut. Tentu saja di sini timbul konflik tentang pengalokasian dana. Meskipun dipandang dari fihak devisi yang menerima alokasi dana yang kurang konflik ini disfungsional, tetapi dipandang dari perusahaan secara keseluruhan konflik ini adalah fungsional, karena akan mendorong setiap devisi untuk lebih produktif. Manfaat yang mungkin timbul dari contoh kasus di atas antara lain :
a.       Para manajer akan menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan dana
b.      Mereka mungkin bisa menemukan cara untuk menghemat biaya
c.       Mereka meningkatkan prestasi masing-masing devisi secara keseluruhan sehingga bisa tersedia dana yang lebih besar untuk mereka semua.

Meskipun demikian, mungkin juga timbul akibat yang tidak fungsional, di mana kerjasama antara kepala devisi menjadi rusak karena konflik ini.

Setiap konflik, baik fungsional maupun disfungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain. Setiap kegagalan untuk mencapai hal yang diinginkan akan dicari kambing hitam dari pihak lain dan perilaku pihaknya sendiri akan selalu dibela dan dicarikan pembenarannya, bahkan dengan cara yang emosional dan tidak rasional. Pada tahap seperti ini informasi akan ditahan dan diganggu, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa terjadi menjadi tidak diketahui. Dan segera bisa muncul usaha untuk menggagalkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain. Kegiatan untuk “menang” menjadi lebih dominan dari pada untuk mencapai tujuan organisasi.

Menurut Heidjrachman dari berbagai penelitian dan percobaan ternyata ditemukan hasil-hasil yang mirip antara yang satu dengan yang lain situasi, yang timbul akibat adanya konflik, baik konflik yang fungsional maupun konflik yang disfungsional. Di antaranya yang penting adalah :
a.       Timbulnya kekompakan di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai konflik dengan kelompok yang lain
b.      Munculnya para pimpinan dari kelompok yang mengalami konflik
c.       Ada gangguan terhadap persepsi para anggota atau kelompok yang mengalami konflik
d.      Perbedaan antara kelompok yang mengalami konflik nampak lebih besar dari pada yang sebenarnya, sedangkan perbedaan pendapat antar individu dalam masing-masing kelompok tampak lebih kecil daripada yang sebenanya
e.       Terpilihnya “wakil-wakil” yang kuat dari pihak-pihak yang mengalami konflik
f.       Timbulnya ketidakmampuan untuk berfikir dan menganalisa permasalahan secara jernih.

SUMBER KONFLIK

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasi antara lain adalah :
1.      Berbagai sumber daya yang langka
Karena sumber daya yang dimiliki organisasi terbatas/langka maka perlu dialokasikan. Dalam alokasi sumber daya tersebut suatu kelompok mungkin menerima kurang dari kelompok yang lain. Hal ini dapat menjadi sumber konflik.
2.      Perbedaan dalam tujuan
Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari atas berbagai macam bagian yang bisa mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tujuan dari berbagai bagian ini kalau kurang adanya koordinasi dapat menimbulkan adanya konflik. Sebagai contoh : bagian penjualan mungkin ingin meningkatkan volume penjualan dengan memberikan persyaratan-persyaratan pembelian yang lunak, seperti kredit dengan bunga rendah, jangka waktu yang lebih lama, seleksi calon pembeli yang tidak terlalu ketat dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh bagian penjualan semacam ini mungkin akan mengakibatkan peningkatan jumlah piutang dalam tingkat yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut keuangan, mungkin tidak dikehendaki karena akan memerlukan tambahan dana yang cukup besar.
3.      Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan
Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan pihak lain. Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh : bagian akademik telah membuat jadwal ujian beserta pengawainya, setapi bagian tata usaha terlambat menyampaikan surat pemberitahuan kepada para pengawas dan penguji sehingga mengakibatkan terganggunya pelaksanaan ujian.
4.      Perbedaan dalam nilai atau persepsi
Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam sikap, nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik. Sebagai contoh : seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang sewaktu diberi tugas-tugas rutin karena dianggap kurang menantang kreativitasnya untuk berkembang, sementara pimpinan yang lebih senior merasa bahwa tugas-tugas rutin tersebut merupakan bagian dari pelatihan.
5.      Sebab-sebab lain
Selain sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi dan masalah-masalah komunikasi.

MANAJEMEN KONFLIK YANG EFEKTIF

Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya, dan bagaimana dapat diciptakanya program-program dan tindakan, yang dalam hal ini dapat ditekankan empat hal :
1.      Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut
2.      Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusi-solusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
3.      Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan\ mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang Sumberdaya Manusia saja misalnya.
4.      Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik bersifat pencegahan dan bila perlu harus bisa melakukan tindakan penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi, pelatihan dan program sosialisasi lainnya.

Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah :
1.      Metode pengurangan konflik.
Salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.
2.      Metode penyelesaian konflik.
Cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau menekan, berkompromi dan penyelesaian masalah secara integratif. Dimana ketiga unsur ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.      Dominasi (Penekanan)
Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna, yaitu keduanya\ menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting).
b.      Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik ( win-win solution ). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik
c.       Penyelesaian secara integratif
Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

Untuk menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang–kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik:

1.      Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.
2.      Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3.      Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah sementara mereka menang, ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.
4.      Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)
Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh . Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.

MEMINIMALISIR KONFLIK DENGAN KOMUNIKASI EFEKTIF

Ada lima macam gaya komunikasi kita yang bisa memicu konflik. Jenis komunikasi ini dijabarkan sebagai berikut :

1.      Komunikasi negatif
Anda pasti mengetahui bahwa ada orang atau pihak tertentu yang 'secara alamiah' berperilaku seperti Tom and Jerry. Perilaku seperti ini cenderung melekat secara konstan, karena sifatnya lebih menyerupai karakter diri dari pada penyakit yang harus disembuhkan. Apa yang pasti dari perilaku seperti ini, adalah efeknya yang buruk terhadap pihak lain. Karakter ini dapat menyedot dan menghabisi antusiasme, energi dan rasa percaya diri orang-orang sekitar. Apa yang dapat dilakukan dengan gejala ini, adalah mendorong orang yang bersangkutan untuk mengkonfrontir perilakunya sendiri. Dan ini, hanya dapat dilakukan jika orang-orang di sekitar bisa terlibat aktif dengan memberi masukan tentang perilaku dan karakter negatif itu. Secara teknis, pendekatan terbaik yang dapat dilakukan adalah melatih apa yang disebut dengan "I message". Contoh pengungkapannya adalah sebagai berikut:

"Saat SAYA mengutarakan suatu pendapat atau usulan, SAYA merasakan bahwa sikap negatif Anda membuat SAYA frustrasi, dan SAYA menemukan bahwa bekerjasama dengan Anda menjadi lebih sulit dari semestinya."

Orang yang berkarakter negatif, memiliki kecenderungan untuk mempersepsi segala sesuatu yang sampai di telinganya, apa yang bisa terlihat oleh matanya, sebagai bentuk-bentuk serangan. Sikap negatifnya, adalah bagian dari sistem survivalnya. "I message" dalam hal ini, adalah untuk meredam persepsi itu. Jika Anda merasa punya banyak "musuh", karakter Anda mungkin harus dibenahi.

2.      Komunikasi Blaming
Masih ingat yang satu ini: "Litle-litle to me, Litle-litle to me." Maksudnya, "Dikit-dikit gua, dikit-dikit gua”. Inilah yang terjadi, pada korban dari orang yang memiliki kecenderungan komunikasi blaming. Ia cenderung menyalahkan dan selalu menyalahkan orang-orang di sekitarnya. "I message" yang ditimpali dengan menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih baik, adalah cara terbaik untuk mengakalinya. Carilah isu utama dari sikap menyalahkan itu, tangani satu per satu, jangan sekaligus. Jika Anda sering melihat orang lain salah, mungkin Anda memang sering menyalahkan. Jika memang demikian, latihlah untuk selalu spesifik dan detil berkaitan dengan suatu kesalahan.

3.      Komunikasi superior
Anda mungkin boss. Waspadalah. Cara berkomunikasi ini dipenuhi dengan perintah, nasehat, dan pesan-pesan yang penuh moralitas. Semua itu memang diperlukan, akan tetapi jika setiap kalimat dan uraian yang keluar dari mulut melulu hanya tentang itu, maka kepekaan dari orang-orang sekitar akan menyusut jauh. Bahkan, komunikasi seperti ini akan membuat orang-orang di sekitar menjadi bosan. Mereka akan mengalami frustrasi, penolakan dan bahkan dalam tingkat tertentu akan memunculkan inspirasi untuk mensabotase. Sekali lagi, "I message" yang ditimpali dengan pendekatan asertif (emosi dan personal), bisa sangat membantu keadaan. Cobalah untuk lebih asertif dan personal. Sering-seringlah mengobrol dengan bawahan.

4.      Komunikasi tidak jujur
Seringkali, ketidakjujuran dalam berkomunikasi akan menciptakan "kegagalan mendengar". Lebih dari itu, cara komunikasi ini akan menciptakan "kegagalan berempati". Ciri-cirinya, apa yang dikomunikasikan hanyalah berbagai hal di sekitar masalah, dan bukan masalah itu sendiri. Ada juga ciri-ciri lain, akan tetapi bukan merupakan patokan utama, yaitu komunikatornya cenderung menggunakan kata-kata "Kita". Padahal, maksud "kita" di sana tidak lebih dan tidak kurang adalah dirinya sendiri. Ada kecenderungan, komunikator yang demikian secara sengaja tidak menindaklanjuti perilaku yang tidak profesional, atau perilaku yang dapat merusak tim kerja, padahal bisa ditindaklanjuti. Semuanya itu, jelas akan mengarah pada tidak berfungsinya tim kerja. Untuk membenahinya, diperlukan sebuah suasana yang terbuka, jujur, saling menghormati, berhenti saling menyalahkan, saling mengganggu, dan menyediakan akses bagi setiap orang. Jika Anda sering bekerja dengan menyendiri, waspadai gaya komunikasi ini.\

5.      Komunikasi selektif
Komunikatornya dalam hal ini, sering berasumsi tentang apa yang perlu diketahui oleh orang lain. Ia tidak berfokus pada apa yang secara obyektif memang perlu diketahui orang lain. Perilaku ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk tetap memegang kekuasaan, mempertahankan status quo. Untuk membenahinya, diperlukan keterbukaan dan akses kepada setiap informasi yang penting.

Contoh-contoh cerminan komunikasi yang dapat mensabotase tim:

a.       "Yang penting kerjaan gua beres." Sikap ini akan memperlemah kekuatan dan kerjasama tim.
b.      "Bukan gua yang salah kok." Ini juga tidak sehat, sebab sama dengan mengatakan "Yang salah orang lain."
c.       "Kalo Dia yang salah ya biarin aja, toh bukan Gua." Sikap ini juga tidak membantu tim.

DAFTAR PUSTAKA

·         De Cenzo and Robins. 1999. Human Resource Management. New York : John Wiley & Sons, Inc.
·         Garry Dessler. 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 2, Jakarta : PT. Prehelinso
·         Hadi Peorwono. 1984. Tata Personalia. Jakarta : Djambatan
·         Hani Handoko. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE
·         Heidjrachman R & Suad Husnan. 2002. Manajamen Personalia, Yogyakarta : BPFE
·         Jeffrey, dkk. 2002. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Amara Books
·         John Soeprihanto. 1987. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE
·         Manullang. 1987. Management Personalia. Jakarta : Aksara Bar
·         Nitisemito, Alex S,. 1996. Manajemen Personalia. Jakarta : Ghalia Indonesia
·         Werther, W.B. Jr & Davis, K. 1996. Human Resource and Personel Management. USA: Mc Graw-Hill, Inc.
·         William P. Anthony, Pamela L. Perrewe, 1996, Strategic Human Resouce Management, The Dryden Press

No comments:

Post a Comment